Selasa, 30 November 2010

Pop Art dalam Interior

Kita sering mendengar kata Pop Art, di film, buku, majalah, dan pembicaraan di sekitar kita. Namun apa sebenarnya Pop Art tersebut, kadang kita bingung mendefinisikannya. Apakah sebuah pencampuran warna-warna terang dan berani? Atau seni yang populer?

Kedua hal tersebut benar. Lebih tepatnya Pop Art adalah sebuah gerakan seni yang muncul di Inggris pada tahun 1950-an di jaman-jaman awal post modern art. Jaman dimana semua orang mulai bosan dengan gaya Modern. Pop Art merupakan seni yang mendobrak batas-batas artian seni yang agung. Pada saat itu Seni hanyalah sebuah hal yang bisa dinikmati kalangan kelas atas, dan dengan adanya gerakan Pop Art, seni dapat dinikmati oleh semua kalangan.  Seniman Pop Art yang paling banyak dikenal mungkin Andy Warhol, dengan karyanya yang menggambarkan wajah Marylin Monroe yang disajikan dengan warna-warna komplemen yang tegas. Andy Warhol adalah seniman Amerika, dialah yang dipercaya mulai mempopulerkan Pop Art di Amerika.
Dalam interior, gaya pop art sering dijadikan sebuah eksperimen yang sangat menyenangkan. Gaya-gaya desain interior kontemporer semakin berkembang dan meluas dengan kreatif. Banyak hal baru yang bisa dilakukan dalam mendesain ruangan, seiring berkembangnya teknologi dalam pembuatan material untuk aplikasi interior dan pemasangan aplikasi yang semakin mudah dan bervariasi.

Namun di Indonesia, gaya ini jarang sekali digunakan. Kenapa? Bukan karena desainer interior yang tidak mau, namun pemilik proyek alias klien biasanya tidak setuju dengan desain-desain yang unik karena biasanya lebih mahal daripada desain interior biasa. Desain plastis yang melengkung-lengkung, desain kontemporer yang unik dan penuh kreasi, dan desain dengan permainan warna berani biasanya langsung ditolak oleh klien. Kebanyakan klien akhirnya memilih desain ‘aman’. Hal ini menjadi salah satu alasan yang kemudian membuat desain di Indonesia tidak terlalu berkembang. Karena itulah sangat jarang hasil desain anak bangsa masuk ke web atau majalah-majalah desain internasional.

Alasan lain yang membuat pop art dalam interior jarang ditemukan di Indonesia adalah pemikiran umum yang mengatakan bahwa tabrak warna itu jelek, dan berasa ‘dangdut’. Padahal warna-warna komplementer yang berani apabila dipadukan dengan baik, maka bisa menghasilkan efek yang dahsyat pada ruangan. Apalagi kalau ditambah dengan bentuk ruangan yang didesain menarik dan kreatif. Contoh yang bisa saya temukan adalah dari karya desainer luar negeri karena tak bisa menemukan hasil karya anak bangsa yang berani dan unik seperti ini :


(sumber gambar : www.mymodernmet.com “Kid’s Republic” in Beijing)

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2010/06/04/pop-art-dalam-interior/ 


posted by : windy

ETIKA RANCANGAN DESAIN GRAFIS KOMUNIKASI DI INDONESIA


Proses komunikasi media grafis komunikasi tidak dapat dilepaskan dari etika Komunikator (Sumber), Komunikasi (Pesan melalui media), Konteks (siapa sasaran komunikasi dengan akibat apa) selalu berkaitan dengan etika. Komunikator/sumber misalnya, dituntut untuk memiliki motivasi komunikasi yang jujur. Hal ini menjadi jelas bila kita gabungkan diagram landasan keputusan etis dengan diagram proses komunikasi media grafis komunikasi. Proses komunikasi media grafis komunikasi dapat dilihat sebagai suatu kegiatan manusia yang melibatkan keputusan etis di dalamnya.
Menurut Marshall Mc Luhan, cara menyampaikan informasi sama pentingnya dengan isi informasi yang disampaikan. Namun,tidakberhenti di situ,media penyampai pesan tersebut juga harus kita perhatikan.Apakah cara yang dipakai benar, artinya tidak melanggar tata krama atau etika?
a. Produsen/biro iklan (media grafis komunikasi) sebagai komunikator dituntut untuk memiliki motivasi dan tujuan yang benar dalam bermedia grafis komunikasi.
b. Pesan dan media grafis komunikasi berhubungan erat.Bukan hanya niat yang jujur, tetapi juga cara mengolah pesan dan penggunaan media komunikasi penting untuk diperhatikan.
c. Sasaran media grafis komunikasi berkaitan dengan landasan keputusan etis situasi dan akibat.Untuk menjalin komunikasi yang baik kita harus memperhitungkan akibat negatif yang akan terjadi dari pesan media grafis komunikasi yang kita lontarkan.Pesan yang sama akan berbeda akibatnya bila diterima oleh anak atau orang dewasa.
Ketiga faktor tersebut di atas harus ada dalam proses komunikasi media grafis dan selalu menjadi bahan pertimbangan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan, karena suatu proses grafis komunikasi selalu mempertimbangkan maksud atau niat komunikator, cara komunikator disampaikan (dengan alat apa), dan siapa sasarannya.
Jadi ketika seorang desainer media grafis komunikasi merancang pesan yang berupa membujuk calon konsumen barang atau jasa, ia selalu akan berhadapan dengan masalah etis (etika). Motivasi dan tujuan, ia menyampaikan media grafis komunikasi untuk diuji. Apakah ia jujur? Ketika ia mengolah suatu pesan, ketika ia memanfaatkan suatu jenis media media grafis komunikasi ia harus bertanya: Etiskah cara yang ia pakai? Selanjutnya sasaran komunikasi juga menimbulkan masalah etis. Bagaimana cara membujuk anak tanpa merusak jiwanya?
Apakah akibatnya bagi konsumen dengan perkataan lain, kontek dan akibat komunikasi perlu dipertimbangkan matang- matang. Selama ini keputusan etis suatu rancangan media grafis komunikasi mengacu pada kode Etik Periklanan Indonesia, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia yang Disempurnakan, maupun peraturan yang lain.
Tatakrama Periklanan Indonesia atau Tata Cara Periklanan Indonesia yang Disempurnakan yang menulis mukadimah antara lain menyatakan bahwa isi Kode Etik berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kode Etik Periklanan Indonesia terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian asas-asas umum, penerapan umum, dan penerapan khusus.
Dalam asas-asas umum disebutkan, antara lain:
- Iklan (media grafis komunikasi) harus jujur dan tanggung jawab.
- Iklan (media grafis komunikasi) tidak boleh menyinggung perasaan atau merendahkan martabat agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan (SARA)
- Iklan (media grafis komunikasi) harus dijiwai oleh rasa persaingan sehat.
Dalam penerapan umum disebutkan antara:
- Apa yang dimaksud dengan istilah jujur, bertanggung jawab dan tidak berlawanan dengan hukum.
- Isi iklan (media grafis komunikasi) berupa pernyataan dan janji mengenai produk harus dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
- Iklan (media grafis komunikasi) tidak boleh membenarkan tindakan kekerasan.
- Iklan (media grafis komunikasi) untuk anak-anak tidak boleh ditampilkan dalam bentuk yang dianggap dapat mengganggu atau merusak jasmani dan rohani mereka, serta mengambil manfaat atas kemudahan kepercayaan, kekurangan pengalaman, atau kepolosan hati mereka. Pada bagian penerapan khusus disebutkan:
- Iklan (media grafis komunikasi) tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk memulai minum minuman keras.
- Iklan (media grafis komunikasi) tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang mulai merokok.
- Iklan (media grafis komunikasi) obat harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ada kalanya iklan (media grafis komunikasi) lupa atau tidak menghiraukan peraturan yang telah ditentukan, sehingga tanpa disadari iklan (media grafis komunikasi) yang ditampilkan akan mendapat reaksi keras atau kritik juga perasaan kurang enak pada konsumen yang merasa dirugikan.
Memanipulasi dan mempermainkan Kode Etik yang telah ditentukan secara tidak langsung meninggalan peraturan yang telah ada, sehingga menjadikan kurang wibawanya Kode Etik tersebut.


Sumber : www.crayonpedia.org

Created by : Dewi Dian Natalia

Organisasi desain grafis pertama di Indonesia






Logo IPGI hasil coretan tangan Sadjiroen, desainer uang Indonesia.
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.
Brosur – sekaligus poster – pameran Grafis ’80, dirancang oleh Tjahjono Abdi.





Pada tanggal 22-31 Agustus 1983, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, IPGI menyelenggarakan pamerannya yang kedua yang digelar di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”.
Ilustrasi karya Tjahjono Abdi yang menghiasi materi pameran (brosur, poster dsb.) Grafis ’83.






Posted By: Intan Purnamasari

Sejarah Periklanan

Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan tulis mulai dikenal pada jaman Yunani Kuno, berisi tentang budak-budak yang lari dari majikannya atau memberitahu akan berlangsungnya pertandingan gladiator. Iklan pada jaman ini hanya berupa surat edaran. Beberapa waktu kemudian mulai muncul metode iklan dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang berkembang di Inggris.


Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret 1648. Sampai tahun 1850an, di Eropa iklan belum sepenuhnya dimuat di suratkabar. Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur.
Iklan majalah pertama muncul dalam majalah Harper tahun 1864. Pada masa-masa itu, periklanan berkembang seiring perkembangan pers yang juga ditandai berkembangnya perusahaan periklanan dengan fungsi sederhana. Pada abad ke-18, beberapa toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan iklan untuk suratkabar. Pada abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan melalui agen perseorangan (menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Setelah 1880an, perusahaan periklanan meningkatkan fungsi dengan menawarkan konsultasi dan jasa periklanan lain.

Pada peralihan menuju abad ke-20, sistem manajemen periklanan modern seperti posisi manajer iklan mulai diterapkan.
Periklanan di Indonesia RTS Masli dalam pengantar buku Reka Reklame menjelaskan bahwa iklan pertama di Indonesia hanya berupa sebuah pengumuman mengenai kedatangan kapal dagang Bataviaasche Nouvelles tahun 1744. Pemanfaatan iklan menunjang pemasarannya antara lain dilakukan oleh surat kabar Bientang Timoor dengan iklan yang berbunyi: Siapa siapa njang biasa trima soerat kabar bernama Bientang Timoor soeka diteroeskan ini taon 1865, dikasi taoe njang oewangnja itoe soerat kabar, harganja - bole lekas dikirimkan sama njang kloewarken itoe sorat kabar

Pertumbuhan iklan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh modal swasta di sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Pada jaman ini, beredar iklan brosur untuk pertama kalinya. Iklan tersebut berisi promosi perusahaan komersial. Selain brosur, digunakan pula iklan display.Pada awal abad 20, biro reklame mulai bermunculan walau tidak bertahan lama karena masalah perekonomian. Biro reklame pada masa itu dapat dikelompokkan dalam kategori besar (biasanya dimiliki oleh orang Belanda), menengah, dan kecil (dimiliki oleh orang Tionghoa dan bumiputera). Biro reklame Indonesia kembali bangkit sekitar 1930-1942. Iklan yang dikeluarkan semakin beragam ( pencarian kerja, pernikahan, kematian, serta perjalanan). Iklan juga sempat menjadi sarana propaganda Jepang di Indonesia. Berbagai poster dan selebaran mengkampanyekan Jepang sebagai ;Pelindung, Cahaya, dan Pemimpin. Namun, pada masa itu tetap banyak iklan lain seperti pasta gigi, batik, tawaran kursus dan tak ketinggalan iklan bioskop yang menayangkan film Jepang. Pasca kemerdekaan, muncul iklan himbauan untuk menyumbangkan dana bagi kepentingan perjuangan, pertahanan kemerdekaan, pembangunan atau perbaikan sekolah dan mengaktifkan BPKKP. Iklan ini tercatat sebagai iklan layanan masyarakat pertama dalam sejarah periklanan Indonesia.

Pada tahun 1963, berdiri perusahaan periklanan InterVista Ltd yang dikelola (sekaligus didirikan) oleh Nuradi, mantan diplomat yang pernah bekerja di perusahaan periklanan SH Benson cabang Singapura. Perusahaan ini dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia dengan pelayanan menyeluruh seperti media planning, account management, riset, dan bidang lain.Saat ini, berbagai perusahaan periklanan di Indonesia tergabung dalam suatu asosiasi yaitu PPPI. Asosiasi perusahaan periklanan ini terwakili pula dalam keanggotaan Dewan Pers yang secara resmi dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1967.

Sumber: http://www.users.muohio.eduPersatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. (2004). Reka Reklame, Sejarah Periklanan Indonesia 1744 – 1984. Yogyakarta: Galangpress.

Posted by: Felicia

Wedha Abdul Rasyid

                Wedha Abdul Rasyid adalah seorang Bapak Illustrator Indonesia. Karyanya yang paling terkenal adalah dengan menghadirkan bentuk visual dari Lupus (sebuah novel yang sangat terkenal pada tahun 1980-1990an yang diadaptasi menjadi sebuah novel dari cerita pendek). Bapak Wedha ini juga merupakan seorang illustrator pada majalah remaja Hai. Kontribusinya dalam bidang illustrasi dan seni rupa sangat banyak sehingga beliau sangat di’tua’-kan dalam hal illustrasi.
                 Profesinya sebagai illustrator sudah dikerjakan Wedha sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1977, ia bergabung dengan majalah Hai, dan banyak membuat ilustrasi terutama pada karya-karya fiksi Arswendo Atmowiloto dan Hilman. Di majalah itulah, Wedha mengerjakan potret para tokoh dunia dari segala latar belakang. Misalnya seoarang tokoh politik, musisi, seniman, sampai tokoh-tokoh fiktif.
                Pada tahun 1990, Wedha memulai gaya baru untuk pengaplikasian ilustrasi gambar wajah. Hal ini menurutnya dikarenakan penurunan daya penglihatannya karena usia yang telah mencapai 40 tahun sehingga ia sulit menggambar wajah dalam bentuk realistis dan detail. Beliau kemudian mencoba ilustrasi dengan bergaya kubisme. Gaya ini kemudian tumbuh dan semakin populer sebagai bagian dari gaya pop art bahkan hingga sampai saat ini.Ia menyebut gaya aliran ilustrasi ini adalah Wedha’s Pop Art Potrait (WPAP), bahkan ada yang menyebutnya sebagai aliran Wedhaism.
                Wedha memiliki bentuk dan tekhnik yang khas. Beliau menggambarkan wajah para tokoh dengan menusunnya dalam mosaik warna yang dipecah menurut faset-fasetnya. Tekhniknya lebih menggabungkan ragam warna yang harmonis, sehingga membentuk tokoh yang digambarkan. Meski hasil karyanya tidak detail, namun mampu mewakili karakter wajah dengan sangat baik.
                Anda akan dapat mengenali wajah-wajah mendunia, seperti Mick Jagger, Jimmy Hendrix, Jim Morrison, The Beatles, Elvis Presley, Sting, Bono, Queen. Ada juga tokoh-tokoh politikus seperti, JFK, Bung Karno, Indira Gandhi, Benazir Buttho, Fidel Castro, Ahmadinejad. Ada pula potret Rendra, Slank, Jakob Oetama, John Lenon sampai Andy Warhol.  
               
Contoh berbagai macam jenis ilustrasi pop art yang menggunakan teknik WPAP:
 
Andy Warhol

James Dean
Pearl Jam

Shakira

Sting
The Beatles

The Beatles


Posted By: Natasha Oswari

  Jack Johnson

Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri dan logo mulai populer





Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri

Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia (disingkat ASRI) didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota Negara. Tanggal 27 Desember 1949, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.
Pada tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ Katamsi Martorahardjo (7 Januari 1897-2 Mei 1973) sebagai direkturnya yang pertama (sekaligus pendirinya), dengan beberapa bagian pendidikan seni seperti Lukis, Patung, Pertukangan Kayu, dan Reklame. Jurusan Reklame yang merupakan cikal bakal pendidikan desain grafis saat itu masih menjadi satu dengan Jurusan Dekorasi, Ilustrasi dan Grafik dan disebut dengan Jurusan 4 (empat) atau REDIG. Salah satu mahasiswa pada awal jurusan ini yaitu Soetopo Mangkoediredjo lulus pada tahun 1955. Termasuk pendiri ASRI adalah Hendra, Kusnadi, Sudarso dan Trubus sementara Affandi pernah tercatat sebagai salah satu pengajar di perguruan ini.


1960-1972
Logo mulai populer

Iklan-iklan produk konsumen tampak mengalami kemandegan kreativitas, khususnya dalam hal penulisan naskahnya. Bagian besar rancangan produk iklan dalam negeri bertema “anjuran memakai” yang tidak monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa digunakan dalam setiap teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap dipengaruhi oleh iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak menggunakan istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti Te Huur (sewa), Barbier (cukur rambut), Restaurant, atau Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media cetak.
Secara visual pengaruh “Hollandsch denken en Hollandsch inzicht” (berfikir dan berpandangan ala Belanda) juga terasa sangat dominan. Dalam iklan restoran atau hotel misalnya, selalu digunakan model seorang berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan sebuah serbet yang tersampir di pundak kirinya, dalam posisi siap menerima perintah tuannya, yang seorang Belanda pula. Atau visualisasi budaya Barat lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh Walt Disney dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan sebagainya. Atau ilkan-iklan keluarga tentang kelahiran dengan ilustrasi burung pelikan terbang membawa bayi.
Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai berani menggunakan sedikit teks, dan sekaligus menyadari pentingnya khalayak sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya, berbeda dengan teori periklanan, banyak produk ataupun merek baru yang tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Di samping itu, nuansa yang tercipta dari iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya untuk tujuan penjualan (sales) semata.
Populernya penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek, membawa bisnis baru untuk perusahaan periklanan dari kliennya. Yaitu merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian dan citra produk yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut.
Beberapa perusahaan bahkan meminta perusahaan periklanannya untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (gedeponeerd) merek atau logo produk mereka tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang.
Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan kesadaran mereka beriklan, memasyarakatkan logo-logo tersebut. Situasi ini membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu ternyata muncul banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya, justru mereka akhirnya merasa perlu memuat iklan-iklan pengaduan, atau sekedar menjelaskan tentang perbedaan logo produknya dengan yang milik perusahaan lain. Beberapa di antara mereka yang mirip logonya dan memuat iklan pengumuman ini, bahkan sama-sama pula belum terdaftar.




posted by: Fony Indriany
sumber : http://dgi-indonesia.com/garis-waktu-desain-grafis-indonesia-2/

Selasa, 23 November 2010

Perkembangan Seni Lukis Indonesia

Ekspresi estetis terutama dalam seni lukis modern memberika kesempatan yang seluas-luasnya kepada seniman seni lukis untuk mengekspresikan idenya dengan berbagai cara yang tidak terbatas. Inilah yang sesungguhnya melanda dunia seni lukis pada saat ini. Obyek-obyek yang jumlahnya sangat banyak di alam ini merupakan ide-ide yang tak terbatas dalam pengolahan daya kreatif seniman.
Pada perkembangan seni lukis modern dengan pengekspresian karya seni lukis secara estetis inilah karya seni menjadi sangat produktif dan kreatif, sedangkan tokoh-tokohnya sangat banyak baik di Indonesia maupun dimanapun tempat di dunia ini.
Berbagai Gejala
Abad ke 19 merupakan periode pertama yang penuh arti dalam sejarah seni lukis modern. Pada masa itu bermunculan berbagai macam corak dan gaya seni lukis yang secara tidak langsung membedakan dengan sebelumnya. Yang menjadi pusatnya mula-mula adalah Perancis dengan kota Parisnya. Kemudian Amerika Serikat dengan New York-nya juga memegang peranan penting. Bila dipakai periodisasi sejarah seni rupa modern barat menurut Canaday, mulai dari David dengan aliran neoklasikisme, romantisisme kelompok Barbinson, realisme, impresionisme. kemudian disusul dengan munculnya aneka ragam gaya lukisan abad ke 20 seperti fauvisme, Die Bruke, Der Balu Reiter, kubisme, suprematisme, obyektivitas baru, optical art, neo-dadaisme, dan sebagainya.
Kemudian di Inggris dan Amerika Serikat lahir pop-Art, yakni untuk menyebut kecendrungan internasional diantara pelukis dan pematung yang mengembalikan ide-ide mereka ke dunia obyek yang bisa diraba, sebagai reaksi terhadap semua jenis yang abstrak. Kadang juga pop-art disebut realisme baru. Aliran ini menggambarkan kecendrungan menggunakan benda-benda seperti boneka, mesin-mesin, botol dan kaleng minuman serta barang rongsokan.
Ditinjau dari penggunaan material atau media pengungkapan nilai-nilai ide ekspresi estetis, sesuai denga tuntutan zamannya. Seniman-seniman kreatif telah memanfaatkan dan mengeksploitasi bahan dan teknik-teknik baru hasil kemajuan ilmu dan teknologi abad ke 20.
Seni lukis modern merupakan ekspresi estetis dari segala macam ide yang bisa diwujudkan oleh pelukis dalam bentuk-bentuk yang kongkrit dimana kebebasan serta sikap bathin pelukis sangat menentukan proses pembuatan lukisan.
Sesudah pop-art, berkembang pula aliran baru yang dikenal dengan nama environtment-art dan happening-art, sebagai penemuan dan pembaharuan akibat perkembangan teknologi yang mau tidak mau membawa pengaruh besar di bidang seni rupa.
Di Indonesia
Pada waktu Eropa dilanda pergolakan melawan tradisi, Indonesia masih dalam suasana perjuangan melawan penjajah, sehingga sulit mencari tanda kelahiran seni lukis modern, ada yang menganggap bahwa seni lukis modern Indonesia dimulai dari Raden Saleh, karena ia merupakan pelukis yang mendapat pendidikan di barat dan dipengaruhi pelukis romantik Perancis Delacroix. Jadi sesudah zamannya David yang merupakan permulaan seni lukis modern.
Daya dorong kearah perkembangan ekspresi estetis yang kreatif dan orisinal dimulai sejak tahun 1922. Para perintisnya adalah Sudjojono, Basuki Reksobowo, Rusli, Abas Alibasyah. Corak lukisannya bermacam-macam sesuai dengan dinamika kreatifitasnya.
Dimasa kini, bila seorang pelukis melihat suatu obyek, maka lukisan yang dihasilkan tidak mesti obyek yang menimbulkan ide. Ia bebas mengolah menurut kreatifitasnya, menurut ekspresi estetisnya.
Pada masa kini seni lukis modern Indonesia bercorak abstrak. Namun perlu dijelaskan bahwa untuk disebut modern sebuah lukisan tidak harus abstrak. Berbagai gejala yang timbul di Indonesia sebetulnya bagaikan refleksi yang telah terjadi di barat, walaupun dari segi isi atau temanya berbeda. Perkembangan seni lukis Indonesia ditandai dengan beberapa periodisasi, dimana sebetulnya pada masa pertentangan ideologi sudah banyak pelukis yang melukis dengan objek-objek lukisan abstrak. Kini seni lukis modern memberi kemungkinan yang tak terbatas, demikian pula material hasil industri teknologi yang banyak mempengaruhi ekspresi estetis seniman dalam perkembangan seni lukis modern

Posted by : Felicia 
sumber : 
http://senirupa.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=47

PERKEMBANGAN IKLAN CETAK DAN MAJALAH

Teknologi percetakan, di paruh pertama abad ke-19 meskipun telah ada mesin cetak berkapasitas besar, secara umum masih menggunakan alat cetak ‘hand press’. Hal itu terlihat dari pelbagai kulit buku, poster dan surat kabar, masih terlihat dominan menggunakan ‘huruf deret’ . Dalam periklanan penggunaan huruf semacam itu dikenal sebagai iklan baris yang mengkomposisikan pelbagai jenis huruf. Baru pada tahun 1870 gambar atau ilustrasi mulai diterakan dalam media cetak, meskipun dalam bentuk piktograf atau simbol. Gambar-gambar atau piktograf tersebut disertakan sesuai dengan tema iklan ataupun informasi yang ingin disampaikan. Sedang ilustrasi atau kulit muka buku, telah berkembang dalam bentuk tata muka yang lebih lengkap, seperti penggunaan huruf, gambar dan warna. Bentuk iklan surat kabar ataupun majalah yang mengandung unsur grafis seperti teks, ilustrasi, identitas usaha dan tata letak yang lebih modern, baru terlihat sekitar tahun 1880, antara lain iklan produk parfum dan perlengkapan rias merk ‘Ed Pinaud’ buatan Perancis yang dimuat pada surat kabar Pemberita Betawi tanggal 9 Januari 1886, tanggal 5 November 1907 dan tanggal 5 Maret 1908.(Riyanto, 2000:132)
..
Gambar 1. (a) Mesin cetak merk ‘Faber & Schleider’ yang diduga diimpor pertama kali di wilayah Hindia Belanda di abad ke-19; (b) Beberapa media cetak yang terbit di paruh kedua abad ke-19 hingga tahun 1920-an.

Sejalan dengan hal di atas, teknologi percetakan juga mengalami perkembangan. Hal tersebut ditandai oleh penggunaan klise dari bahan logam, seperti timah, kuningan, tembaga, karet, serta bahan ‘nylon print’ kemudian banyak dipergunakan oleh percetakan besar, di antaranya percetakan Albrecht & Co di Batavia. Kemajuan teknologi percetakan dan usaha penerbitan, meningkatkan pula kreativitas para perancang grafis iklan surat kabar, majalah dan ilustrasi perbukuan. Secara khusus perusahaan periklanan besar ‘Aneta’ dan ‘Excelsior’ mendatangkan perancang grafis dari negeri Belanda, yaitu Frist Adolph Oscar van Bemmel. Ia dikenal sebagai seorang juru gambar, desainer poster, desainer produk, ilustrator dan kartunis, selama di Indonesia yang berdomisili di Bogor dan Jakarta. Bemmel bekerja di biro iklan ‘Aneta’. Beberapa karyanya dimuat di majalah ‘De Reflector’ (1918), ‘De Zweep’ (1922,1923) dan ‘De Java Bode (1926), dan Cornelis Van Deutekom. Ia dikenal sebagai seorang pelukis, juru gambar, desainer poster, dan seniman iklan. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1920-an dan bekerja di beberapa surat kabar Jakarta, Surabaya dan Malang. Karya-karyanya dapat dijumpai pula di majalah ‘De Zweep’, ‘D’Orient’ (1922 dan 1923), serta karya kartunnya dimuat majalah ‘De Java-Bode’ dan mingguan ‘De Nar’ (1929,1931,1932).

Perkembangan desain grafis memperlihatkan kemajuan teknik maupun gaya visual yang lebih modern pada awal abad ke-20. Hal tersebut dapat dicermati pada pelbagai perkembangan poster film, pengumuman, iklan, kemasan maupun karya cetak lainnya,

Kurang lebih dua dekade setelah kemerdekaan, teknologi percetakan di Indonesia baru meningkat dengan hadirnya mesin cetak web offset, yang dipergunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1969 untuk mencetak koran Harian Merdeka. Tetapi rintisan sebelumnya dengan menggunakan teknologi cetak tinggi (Rotasi Duplex) sejak tahun 1950-an dan merupakan bukti bahwa terapan proses produksi grafis modern telah dimulai. Beberapa karya cetak perangko, uang, poster, majalah bahkan buku, merupakan bukti-bukti nyata bahwa teknologi modern telah dicoba, baik karya grafis yang dikerjakan di dalam negeri maupun karya grafis yang dikembangkan dengan berkerja sama dengan pihak lain di luar negeri. Pada awal tahun 1970-an sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan ‘Pop’, berkembang pula majalah bagi kaum muda, seperti ‘Aktuil’, ‘Ditektif Romantika’, ‘Stop’, ‘Zaman’, ‘Gadis’, dan sebagainya yang memiliki pangsa pasar luas di kalangan remaja. Majalah musik ‘Aktuil’ di samping menyajikan perkembangan musik pop, juga menyajikan ilustrasi-ilustrasi alternatif yang diadopsi dari gaya ‘Pop Art’ dan ‘Pschydelic Art’. Majalah ‘Aktuil’ merupakan perintis permainan ungkapan rupa melalui teknik susun tipografi, dan juga perintis poster cetak berwarna dalam ukuran besar.


.. ..
Gambar 4. (a) Kulit muka buku ‘Pahlawan Kemerdekaan’ (1953); (b) Kulit muka buku pelajaran sekolah; (c) Kulit muka majalah ‘Ragi Buana’ tahun 1960-an.
Pada tahun 1980-an, sejalan dengan pertumbuhan profesi desain grafis, dibentuk IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) adalah satu wadah profesional beranggotakan para pendidik desain maupun profesional. Dalam dekade tersebut tumbuh biro pengiklan (advertising) besar seperti ‘Matari’, ‘Fortune’, ‘Pro-Ad’, ‘Cabe Rawit’, ‘Artek’, ‘Indo-Ad’, ‘Citra Lintas’, ‘Cipta Citra’, ‘Pelita Alembana’, ‘B &B’, ‘Ad-Force’, ‘Citra Link’, ‘Adwork’, dan sejumlah biro iklan besar lainnya.

Dunia periklanan sebagai bagian dari ajang bisnis besar, merupakan wilayah yang paling subur dan potensial bagi pengembangan profesi desain grafis. Mengingat kebutuhan yang tinggi di masyarakat akan profesi ini, maka profesi desain grafis mengalami pelbagai percepatan kemajuan dan perluasan usaha. Terutama ketika penggunaan komputer grafis semakin populer di masyarakat pada awal tahun 1990-an. Alternatif pembuatan desain iklan maupun karya grafis semakin menunjukkan kualitas cetak yang meningkat. Gaya visual yang diadopsi oleh iklan dan karya grafispun semakin beragam dan lebih bersifat multi-kultural dan lintas gaya yang berkembang di pelbagai belahan dunia.

Hingga awal tahun 1990-an, ketika siaran televisi swasta belum hadir, iklan cetak masih merupakan usaha besar dunia biro iklan. Demikian pula desain iklan cetak cenderung untuk menginformasikan pelbagai produk, pesan persuasi maupun tampilan yang mudah diingat. Fenomena tersebut dapat diamati pada pelbagai jenis iklan cetak yang memenangkan Citra Pariwara sejak tahun 1988 hingga tahun 1996. (Cakram,1997 :29-37)
Kemudian ketika siaran televisi swasta mulai memantapkan diri sebagai siaran alternatif setelah radio dan TVRI, dunia iklan Indonesia mulai bergeser ke arah iklan media elektronik, disusul oleh tumbuhnya rumah-rumah produksi (produsen iklan multimedia). Pada tahun 1998, ketika Indonesia berhadapan dengan krisis ekonomi, dunia iklan mengalami penurunan mendekati 60 persen dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 1997, belanja iklan nasional telah mendekati Rp.2,1 triliun maka pada tahun 1998 belanja iklan nasional hanya berkisar Rp 860 milyar. Namun demikian jumlah media cetak justru menunjukkan kenaikan yang besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Keterlibatan perusahaan iklan multi nasional dengan modal asing yang kuat, memicu pertumbuhan gaya visual dalam iklan cetak semakin beragam, beberapa di antaranya mengadopsi gaya Pop-Modern dan ‘Posmodern’ yang sedang populer di pelbagai media cetak dunia.
..
Gambar 5. (a) Sejumlah karya iklan di tahun 1980-an sebagai nominator pemenang penghargaan iklan terbaik ‘Citra Pariwara’ dengan sejumlah gaya visual Pop-Modern; (b & c) dua buah iklan dalam majalah Trolley yang terbit akhir dekade 1990-an dengan gaya visual Posmodern.

Sumber :  http://dgi-indonesia.com/pergeseran-nilai-estetis-pada-desain-karya-cetak-indonesia-di-abad-ke20-studi-historiografi-pada-iklan-cetak-dan-kulit-muka-buku/

posted by : Windy