Selasa, 30 November 2010

Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri dan logo mulai populer





Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri

Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia (disingkat ASRI) didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota Negara. Tanggal 27 Desember 1949, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.
Pada tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ Katamsi Martorahardjo (7 Januari 1897-2 Mei 1973) sebagai direkturnya yang pertama (sekaligus pendirinya), dengan beberapa bagian pendidikan seni seperti Lukis, Patung, Pertukangan Kayu, dan Reklame. Jurusan Reklame yang merupakan cikal bakal pendidikan desain grafis saat itu masih menjadi satu dengan Jurusan Dekorasi, Ilustrasi dan Grafik dan disebut dengan Jurusan 4 (empat) atau REDIG. Salah satu mahasiswa pada awal jurusan ini yaitu Soetopo Mangkoediredjo lulus pada tahun 1955. Termasuk pendiri ASRI adalah Hendra, Kusnadi, Sudarso dan Trubus sementara Affandi pernah tercatat sebagai salah satu pengajar di perguruan ini.


1960-1972
Logo mulai populer

Iklan-iklan produk konsumen tampak mengalami kemandegan kreativitas, khususnya dalam hal penulisan naskahnya. Bagian besar rancangan produk iklan dalam negeri bertema “anjuran memakai” yang tidak monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa digunakan dalam setiap teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap dipengaruhi oleh iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak menggunakan istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti Te Huur (sewa), Barbier (cukur rambut), Restaurant, atau Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media cetak.
Secara visual pengaruh “Hollandsch denken en Hollandsch inzicht” (berfikir dan berpandangan ala Belanda) juga terasa sangat dominan. Dalam iklan restoran atau hotel misalnya, selalu digunakan model seorang berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan sebuah serbet yang tersampir di pundak kirinya, dalam posisi siap menerima perintah tuannya, yang seorang Belanda pula. Atau visualisasi budaya Barat lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh Walt Disney dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan sebagainya. Atau ilkan-iklan keluarga tentang kelahiran dengan ilustrasi burung pelikan terbang membawa bayi.
Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai berani menggunakan sedikit teks, dan sekaligus menyadari pentingnya khalayak sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya, berbeda dengan teori periklanan, banyak produk ataupun merek baru yang tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Di samping itu, nuansa yang tercipta dari iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya untuk tujuan penjualan (sales) semata.
Populernya penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek, membawa bisnis baru untuk perusahaan periklanan dari kliennya. Yaitu merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian dan citra produk yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut.
Beberapa perusahaan bahkan meminta perusahaan periklanannya untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (gedeponeerd) merek atau logo produk mereka tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang.
Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan kesadaran mereka beriklan, memasyarakatkan logo-logo tersebut. Situasi ini membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu ternyata muncul banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya, justru mereka akhirnya merasa perlu memuat iklan-iklan pengaduan, atau sekedar menjelaskan tentang perbedaan logo produknya dengan yang milik perusahaan lain. Beberapa di antara mereka yang mirip logonya dan memuat iklan pengumuman ini, bahkan sama-sama pula belum terdaftar.




posted by: Fony Indriany
sumber : http://dgi-indonesia.com/garis-waktu-desain-grafis-indonesia-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar