Senin, 22 November 2010

Perkembangan komik Indonesia

Pekembangan desain grafis Indonesia tidak lepas dari perkembangan komiknya juga. Komik bisa digunakan sebagai media penyampai pesan yang efektif. Penggunaan gambar memungkinkan pesan yang akan disampaikan menjadi lebih jelas diterima karena bahasa gambar lebih mudah dimengerti daripada bahasa tulisan atau lisan.
Menelusuri perjalanan komik Indonesia tampaknya tidak akan lepas dari tradisi bercerita atau berkomunikasi dengan simbol maupun gambar. Jika diurutkan dari masa kemunculannya, komik Indonesia muncul pada tahun 1930, dimana pada saat itu komik hanya dicetak di sebuah surat kabar Melayu-Cina “Sinpo”, memuat komik strip yang berisi berbagai pertualangan tokoh jenaka komikus muda, Kho Wang Gie. Memasuki tahun 1952, muncul komik dalam bentuk buku untuk pertama kalinya dengan judul “Kisah Pendudukan Jogja” karya Abdul Salam. Akan tetapi, larangan tersebut tidak lantas menyurutkan semangat komikus dan penerbit. Industri komik kemudian beralih pada komik wayang, dipelopori komik Mahabarata karya Ardi Soma. Pada masa banyak diterbitkan komik-komik wayang ini, RA Kosasih yang sempat mendapat sorotan karena komik imitasi superhero Amerika kemudian menghasilkan karya monumental Mahabarata. Sejak pertengahan tahun 1950, komik wayangnya berhasil memikat banyak kalangan. Di masa ini, keberhasilannya bahkan mampu menandingi kepopuleran komik-komik Barat. Bahkan, hingga tahun 1960, komik wayang mampu mendominasi industri komik di negeri ini. Namun, setelah tahun 1960, minat orang terhadap komik wayang menurun. Sampai dengan tahun 1968, komik-komik yang terbit kebanyakan merupakan edisi cetak ulang.
Seiring berjalannya waktu, komik Indonesia mengalami pasang surut karena masuknya komik-komik dari Jepang maupun Barat, hingga komik Indonesia mengalami kevakuman untuk beberapa saat. Namun di tengah kevakuman tersebut, akhirnya munculah komikus generasi muda yang menerbitkan  sejumlah bentuk komik dengan jalan undergound (gerilya / bawah tanah). Hasil komik mereka bias dibilang cukup bisa bersaing dengan komik buatan luar negeri meskipun cara produksi yang dilakukan masih bersifat sangat konvensional.  Mereka melakukannya dengan cara yang sangat sederhana. Namun hal itulah yang kemudian diartikan sebagai komik underground oleh kebanyakan orang karena eksistensi mereka masih bersifat “gerilya” pada saat itu. Kini, sudah banyak media yang mampu mewadahi para komikus untuk melakukan banyak manuver yang cukup membanggakan, dari situlah sejumlah bentuk karakter komik mulai bermunculan. Beberapa diantaranya adalah Manusia Petir, Tiga Serangkai, dan Pangeran Merapi. Karakter-karakter tersebut dibuat dari adaptasi hal-hal yang cukup meng-Indonesia.
Seperti halnya dengan kisah tentang Manusia Petir yang merupakan wujud seorang anak dewa yang lahir dengan kemampuan di atas manusia pada umumnya, Pangeran Merapi merupakan sosok karakter yang begitu meng-Indonesia yang dibangun penulisnya dengan gaya gambar yang cukup memikat. Apa yang dilakukan oleh komikus muda tersebut merupakan langkah positif agar komik local kembali mendapat perhatian dari pecinta komik Indonesia.
Pada tahun 2000-an, komikus Indonesia tidak lagi menciptakan komik sebagai karya utuh seperti dua/tiga dasawarsa yang lalu, tetapi mereka cukup rela menjual jasa untuk menggambar komik maupun karakter film animasi di studio besar yang memperoleh order dari perusahaan industri komik dan aminasi luar negeri. Para komikus mulai memajang karya mereka melalui situs internet di mana para peniat jasa mereka dapat menghubungi serta bernegosiasi melalui e-mail.
Di Indonesia, diam-diam kita tidak hanya menjadi konsumen, tetapi ada beberapa produk komik maupun animasi yang sebagian dikerjakan. Biasanya, produsen besar mencari komikus yang gayanya disukai atau cook dengan konsep miliknya. Melalui situs-situs internet seperti www.digitalwebbing.com, www.devianart.com, atau www.penciljack.com, para komikus kita memajang portopolio mereka. Studio komik Imaginary Friend di Jakarta adalah salah satu contoh suksesnya komikus Indonesia di dunia industri yang dikelola oleh Djoko Santiko (Sani) lulusan DKV Universitas Trisakti ini telah menggarap pewarnaan untuk sejumlah komik seperti Zombie Tales (dikerjakan oleh Rowald), The Burningman (Arif Priyanto dan Sakti), Dragon Lace (Sani), Dead Valey (Sani), dan masih banyak lagi.

Buku “Pengantar Desain Komunikasi Visual; Komik, Sastra Gambar”, Adi Kusrianto, 2007, hal 164-188.

Posted By: Intan Purnamasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar